Oleh: Meutia Sahara Putri Salego, S.Pd.
Pengertian Maulid Nabi Muhammad Saw.
Maulid sendiri berasal dari Bahasa Arab yang berarti Hari Lahir. Untuk itu, Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan acara rutin yang dilaksanakan oleh mayoritas kaum muslim untuk mengingat, mengahayati dan memuliakan kelahiran Rasulullah Saw. Acara ini dilaksanakan setiap tanggal 12 Rabiul Awwal Tahun Hijriyah, di tahun ini jatuh pada Hari Senin, 16 September 2024.
Tradisi Male
Tentunya kita sebagai umat muslim di Indonesia sudah tidak asing lagi dengan istilah satu ini, bahkan hampir semua pernah turut merasakan euforia Lomba Male ini disetiap peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Lantas sebenarnya bagaimana asal muasal Tradisi ini ?
Baiklah, Tradisi ini berasal dari Umat Muslim di Jembrana, Bali.
Lebih tepatnya dalam sejarah proses penyebaran Islam di Jembrana tidak terlepas dari eksistensi 2 Komunitas Muslim saat itu ; Komunitas Muslim kuno di Desa Baluk dan Komunitas Muslim kampung kuno Loloan dan Air Kuning. Komunitas Loloan ini merupakan keturunan dari suku Bugis-Makasar dan Melayu (Kuala Terengganu) yang sudah beberapa abad lalu bermigrasi ke Bali. Keberadaan komunitas Muslim ini juga merupakan bukti sejarah, bahwa Islam sudah lama masuk di wilayah Jembrana dengan mempertahankan agama Islam dan adat-istiadat Makasar serta Melayu.
Terdapat sebuah kaitan yang erat antara budaya dan tradisi yang berkembang di tengah masyarakat Jembrana sebagai solusi pengokohan kerukunan antar umat beragama, salah satunya adalah tradisi Male ; Seni Menghias Telur.
Male adalah telur yang direbus dengan tidak mengupas kulit luar yang dirangkai sedemikian rupa dalam berbagai bentuk dan memiliki nilai estetika dan filosofi keagamaan yang tinggi.
Dikutip dari pendapat KH. Sya’rani Yasin, Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Pengambengan, istilah “Male” terambil dari Bahasa Arab “mala-yamilu-mailan” yang berarti cenderung, condong, miring, memihak ke. Jadi awalnya dia disebut dengan “mala”, karena lidah atau dialek orang Bali yang biasa mengganti bunyi huruf “a” menjadi “e”, maka istilah yang tadinya “mala” berubah menjadi “Male”. Beliau juga menambahkan bahwa rasa cinta yang besar kepada Nabi Muhammad Saw. inilah yang membuat umat Islam di Bali memiliki kecenderungan dan keberpihakan yang tinggi untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad Saw. yang kemudian mengumpamakan/melambangkan rasa cinta tersebut dengan telur yang dihias dan diberi nama Male.
Lebih lanjut, Rifqil Halim, Dosen STIT Jembrana menjelaskan, bahwa kulit telur merupakan simbol Iman, putih telur simbol Islam, dan kuning telur merupakan simbol Ihsan. Putih telur juga melambangkan kesucian dan keagungan, sementara kuning telur melambangkan keemasan, dan warna-warna lain seperti merah dan biru yang mewarnai kulit telur saat maulid sebagai lambang kegembiraan. Jadi telur yang ditusuk saat maulid melambangkan bahwa Iman, Islam, dan Ihsan, harus disatukan dan ditegakkan ke atas berdasarkan kalimat tauhid “La ilahaillallah Muhammad rasulullah”. Telur yang ditusuk bambu melambangkan adanya kelurusan, kekuatan, dan keteguhan, layaknya pohon bambu yang tumbuh menjulang tinggi. Walhasil, berangkat dari tradisi Male pada maulid Nabi Muhammad Saw. diharapkan menanamkan karakter bagi Muslim Jembrana untuk selalu tegak, lurus, dan konsisten dalam meneladani akhlak Nabi Muhammad Saw. sebagai manusia termulia dan paling berbudi luhur.
Dengan terus ditumbuh-kembangkannya tradisi Male ini, masyarakat Jembrana merasa tidak ada perbedaan dalam berinteraksi sosial. Perbedaan di antara mereka hanya persoalan agama/keyakinan yang dianut saja. Tetapi melaui aktivitas ini perbedaan agama diantara mereka juga tidak menjadi jurang pemisah dalam berinteraksi dan hidup bersama di tengah-tengah masyarakat yang berdampak pada banyaknya umat Hindu yang ingin mengenal Islam lebih dalam lagi.
Dewasa ini, Tradisi Male tidak hanya dilaksanakan oleh Umat Muslim di Jembrana, melainkan mayoritas Umat Muslim di Indonesia bahkan menjadi salah satu strategi dakwah melalui sarana ‘Urf. Dalam konteks Moderasi Beragama hal ini sejalan dengan salah satu Indikator Penguatan Moderasi Beragama di Indonesia yaitu melalui Akomodatif/Penerimaan terhadap budaya lokal. Dalam berdakwah, sangat disarankan kepada para mujtahid untuk mengenal ‘urf atau tradisi suatu masyarakat terlebih dahulu sebelum memberikan fatwa hukum sehingga tidak berseberangan dengan kemaslahatan umat.
Wallahu A’lam Bishawab
Allahumma Shalli ala Muhammad wa ala Ali Muhammad