SEKILAS INFORMASI
: - Sunday, 12-10-2025
  • 5 tahun yang lalu / Selamat datang di portal resmi MAN 1 Konawe Selatan MAN 1 Konawe Selatan Bisa, Maju dan Terdepan
Saatnya Ubah Tes Kemampuan Akademik: Dari Momok Menjadi Motivasi

Oleh: Zulham Alfari, S.Pd., M.Pd.

Tes Akademik selama ini menjadi bagian penting dalam sistem pendidikan Indonesia. Namun, hampir setiap periode terjadi perubahan nomenklatur mulai dari EBTANAS, Ujian Nasional, Asesmen Nasional hingga yang terbaru Tes Kemampuan Akademik (TKA). Satu hal yang hampir pasti bagi siswa Indonesia, yakni tes akademik selalu menjadi momok menakutkan yang menimbulkan tekanan dan kecemasan. Bagi sekolah, minimnya tindak lanjut atas evaluasi hasil tes perlu menjadi perhatian serius. Refleksi ini menjadi salah satu pertimbangan Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Abdul Mu’ti dalam mengusung konsep TKA yang mulai dilaksanakan pada tahun ajaran 2025/2026.  TKA didesain sebagai sarana motivasi dan perbaikan kualitas pembelajaran, bukan sekadar penentu nasib siswa.

Hasil analisis kisi-kisi Tes Kemampuan Akademik yang resmi dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional melalui laman: https://pusmendik.kemdikbud.go.id/tka/. Kompetensi yang diukur masih didominasi oleh pendekatan kognitif rendah. Hal ini membuat kegiatan pembelajaran terjebak dalam pola belajar instan tanpa elaborasi yang mendalam. Padahal, menurut Benjamin Bloom (1956), tujuan pembelajaran seharusnya mencakup seluruh ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik, bukan hanya kemampuan mengingat. Ketika TKA hanya menilai hafalan, ia gagal menangkap potensi sejati siswa, terutama kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah.

Perubahan paradigma ini juga sejalan dengan pandangan Anderson dan Krathwohl (2001) yang merevisi taksonomi Bloom. Mereka menegaskan bahwa pembelajaran abad ke-21 harus menekankan pada kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills atau HOTS). Artinya, TKA seharusnya mengukur sejauh mana siswa mampu menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Bukan sekadar menyalin atau mengingat. Dengan demikian, tes akan berfungsi sebagai pendorong siswa untuk berpikir kreatif dan reflektif terhadap pengetahuan yang mereka miliki.

Selain soal substansi, keadilan dalam pelaksanaan TKA juga patut dikaji ulang. Ketimpangan fasilitas, kualitas pengajaran, dan akses teknologi antara daerah perkotaan dan pedesaan akan menyebabkan hasil TKA tidak mencerminkan kemampuan riil siswa. Lev Vygotsky (1978) melalui teorinya tentang Zone of Proximal Development (ZPD) menekankan bahwa kemampuan seseorang hanya dapat dinilai secara adil jika konteks sosial dan lingkungan belajarnya diperhitungkan. Maka, sistem TKA idealnya bersifat adaptif yakni menyesuaikan tingkat kesulitan soal dengan kemampuan peserta agar hasilnya lebih representatif dan manusiawi.

Lebih jauh lagi, Howard Gardner (1983) melalui teori Multiple Intelligences menunjukkan bahwa kecerdasan manusia tidak tunggal. Ada kecerdasan linguistik, logika-matematis, musikal, kinestetik, interpersonal, dan lainnya. Jika TKA hanya menilai kemampuan logika dan bahasa tanpa memperhatikan kecerdasan lain, maka tes tersebut tidak adil bagi siswa dengan potensi yang berbeda. Pendidikan yang memanusiakan seharusnya memberikan ruang bagi semua jenis kecerdasan untuk berkembang. Artinya, TKA perlu dikembangkan secara multidimensional agar lebih menggambarkan keragaman potensi peserta didik.

Selain mengukur kecerdasan, tes juga sebaiknya menumbuhkan semangat belajar. Ki Hajar Dewantara pernah menegaskan bahwa “pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.” Prinsip “menuntun” inilah yang seharusnya menjadi landasan filosofi TKA. Tes bukan untuk menakut-nakuti siswa, melainkan menjadi sarana pembimbingan, agar mereka memahami kemampuan diri dan termotivasi untuk berkembang lebih baik. Hasil TKA seharusnya menjadi cermin reflektif, bukan vonis kemampuan.

Dalam konteks modern, John Hattie (2009) melalui penelitiannya tentang Visible Learning menyebut bahwa umpan balik (feedback) dari asesmen adalah salah satu faktor paling berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar. Artinya, TKA dapat menjadi alat yang luar biasa efektif jika digunakan untuk memberikan umpan balik kepada siswa dan guru. Bukan hanya mengetahui siapa yang “pintar” dan “tidak pintar”, melainkan memahami bagaimana setiap siswa belajar, di mana mereka kesulitan, dan strategi apa yang perlu diperbaiki.

Melalui pandangan para ahli tersebut, sudah seharusnya TKA di Indonesia diarahkan ke fungsi yang lebih konstruktif. Tes tidak lagi berdiri sebagai alat seleksi semata, tetapi menjadi bagian integral dari pembelajaran yang memotivasi. Sekolah perlu menjadikan hasil TKA sebagai dasar untuk memperbaiki metode pengajaran, menyesuaikan materi dengan kebutuhan siswa, dan merancang strategi pembelajaran yang lebih kontekstual dan inspiratif. Dengan begitu, TKA bukan lagi menjadi “ujian yang menakutkan”, melainkan pengalaman belajar yang mendorong siswa untuk terus tumbuh.

Akhirnya, perubahan paradigma TKA harus dimulai dari perubahan cara pandang seluruh pemangku kepentingan: guru, siswa, orang tua, hingga pembuat kebijakan. Tes yang bermakna bukanlah yang menghasilkan angka tinggi, melainkan yang menumbuhkan kesadaran belajar, rasa percaya diri, dan motivasi untuk berkembang. Sudah saatnya TKA diubah dari momok menjadi motivasi, dari alat seleksi menjadi alat refleksi, agar pendidikan Indonesia benar-benar melahirkan generasi pembelajar sejati.

TINGGALKAN KOMENTAR

MAPS SEKOLAH

Agenda