Oleh: Idris Kuba, S.Pd., M.Pd. (Guru Matematika MAN 1 Konawe Selatan)
Sedari kecil dahulu saya sudah memulai kegiatan bermain dengan menjadi guru. Tepatnya sekira usia kelas tinggi pada jenjang sekolah dasar. Menjadi guru yang dimaksud disini adalah sebagai pemimpin dalam sebuah perkumpulan permainan, walaupun tidak ada prosesi penunjukkan secara resmi sebagaimana layaknya dalam menentukan seorang pemimpin pada sebuah organisasi. Praktek menjadi guru kadang saya peragakan secara langsung dengan menirukan bagaimana cara bapak dan ibu guru saya mengajar saat itu.
Seiring berjalan dan bergantinya waktu tibalah saatnya saya menjadi guru yang sebenarnya pada sebuah Madrasah Tsanawiyah yang baru saja dialihkan statusnya menjadi madrasah negeri karena sebelumnya merupakan madrasah swasta. Saat itu saya diterima sebagai Guru Tidak Tetap (GTT) demi memenuhi kebutuhan guru matematika pada madrasah tersebut dengan strata pendidikan D3 Matematika.
Sebagai guru baru tentu saya harus berusaha menyesuaikan diri dalam berinteraksi. Selain berinteraksi kepada sesama guru yang mayoritas sebagai guru tetap tentu saja saya juga harus mampu berinteraksi sebaik mungkin dengan peserta didik. Apalagi mata pelajaran matematika adalah mata pelajaran yang saya ampu, yang notabene pada saat itu masih dianggap sebagai mata pelajaran yang menakutkan.
Saat itu pertengahan tahun 1997 adalah awal bergabungnya saya pada madrasah tersebut dengan honor perbulan sebesar Rp32000. Mengajar 3 kelas dengan tingkatan yang berbeda-beda, yaitu kelas 1, kelas 2 dan kelas 3 masing-masing satu kelas.
Madrasah ini terletak di daerah pedesaan dengan moda transportasi sepeda motor bagi yang memiliki dan angkot yang melayani trayek desa ke kota dan sebaliknya. Namun karena masih minimnya pengguna moda transportasi angkot maka kadang-kadang nunggunya lama sebab penumpangnya harus terisi penuh baru berangkat. Akibatnya tentu butuh waktu lama dalam menunggu, baik pergi maupun pulangnya.
Jarak madrasah dari tempat tinggal sekira 2 km, rasanya tidak mungkin berjalan kaki baik saat berangkat maupun saat pulangnya. Salah satu opsi adalah sepeda ontel milik bapak saya. Itupun kadang rebutan dengan kakak saya yang bekerja sebagai guru namun pada sekolah yang berbeda. Walaupun sang kakak sudah guru tetap yang berstatus PNS tapi waktu itu belum mampu membeli sepeda motor.
Memasuki tahun 1998 keadaan ekonomi negara terguncang begitupun juga dengan keadaan ekonomi keluarga. Usia saya saat itu 26 tahun, belum menikah. “Harusnya kamu keluar saja dari sekolah itu dan mencari pekerjaan yang penghasilannya lebih memadai”. Begitu ucapan teman saya dalam suatu kesempatan. “Harusnya begitu bila kita mengukurnya dari segi penghasilan, tapi saya belum kepikiran untuk melakukan itu”. Jawabku dengan entengnya.
Aktivitas saya mengajar pada sekolah ini berlangsung hingga pertengahan tahun 1999, karena saya dinyatakan lulus sebagai guru kontrak yang seleksinya diadakan oleh pemerintah provinsi di daerah saya demi mengisi kekurangan guru pada sekolah yang ditinggal oleh gurunya demi mengikuti program nasional yaitu program sertifikasi dari Diploma menjadi S1.
Secara kebetulan saya dipekerjakan pada sekolah dimana kakak saya ditugaskan yaitu pada salah satu SMP yang terletak di desa kami sendiri namun masih terhitung jauh jika harus berjalan kaki tapi tidak terasa jauh bagi para peserta didik. Jaraknya sekira 1,5 km. Honor saya saat itu sebesar Rp420.000; dengan tanggungan seorang isteri dan 1 orang anak. Sekolah ini adalah sekolah dimana dahulu saya bersekolah dan menjadi salah satu alumninya.
Waktu bersekolah dahulu saya berjalan kaki pergi dan pulang selama kurang lebih 3 tahun lamanya. Guru yang mengajar pada saat saya bersekolah dahulu menjadi rekan kerja dan menyapa dengan sapaan ‘bapak”, kepada saya. Rasanya tak percaya tetapi itu nyata. Subhanallah betapa bangganya saya ketika guru saya berkabar kepada rekan-rekan guru lainnya dengan mengatakan bahwa pak Idris ini adalah murid saya dahulu.
Pertengahan tahun 2003 saya harus hijrah ke sekolah lain karena lulus dalam tes guru kontrak yang diadakan oleh pemerintah kabupaten sebagai langkah antisipasi dalam memenuhi kekurangan guru di lingkungan kabupaten tempat domisili saya. Sekolah ini terletak di kecamata lain pada daerah yang belum menerima akses listrik dari PLN. Jarak dari tempat tinggal saya sekira 1,5 jam perjalanan dengan berkendaraan angkutan umum dan atau sepeda motor. Rute yang dilalui sekitar hanya 25% jalannya yang beraspal. Ditempat ini honor saya naik menjadi Rp450.000 dengan tanggungan yang sama yaitu seorang isteri dan 1 orang anak. Kami sekeluarga sempat tinggal dalam Mes yang disediakan oleh sekolah tersebut dengan sarana yang terbatas yaitu kamar masih kosong melompong tanpa perabotan dan lantai rabat.
Sekolah ini adalah SMP yang terletak di sekitar teluk. Tentunya ini adalah suasana baru yang harus saya hadapi terutama dalam beradaptasi dengan daerah pesisir. Karena daerah tempat tinggal saya adalah daerah persawaan dan perkebunan.
Saya di sekolah ini tidak berselang lama karena pada awal tahun 2005 saya lulus dalam seleksi CPNS sebagai guru mata pelajaran matematika pada salah satu MTs negeri di Kabupaten lain dalam provinsi yang sama. Di sini saya kembali berjumpa dengan orang-orang yang sebelumnya tidak pernah saya kenal. Jarak tempuh ke MTs ini sekira 80 km dari tempat tinggal saya. Jadi pergi pulang itu jaraknya bila diakumulasi sekira 160 km. Ketika menjalankan tugas saya ditemani sepeda motor bebek yang saya pacu dari rumah ke tempat tugas melewati ruas jalan nasional karena jalan tersebut merupakan jalur jalan antar provinsi yang kondisinya tentu berbeda jauh dengan kondisi jalan di mana saya pernah dipekerjakan sebelumnya. Berangkat setiap pagi sekira jam 05.30 dan tiba sekira jam 07.00. Selanjutnya pulang sekira jam 13.00 dan tiba kembali di rumah sekira jam 15.00 bila tidak ada kegiatan di sekolah. Aktivitas ini saya jalani setiap hari kerja yang berlangsung selama 3 tahun 8 bulan. Secara kebetulan setiap hari selalu pulang, semalampun tak pernah tinggal walaupun ada kegiatan sekolah hingga sampai malam hari.
Bulan Oktober 2008 saya pindah keluar atas permintaan sendiri dan masuk pada Madrasah Aliyah Negeri yang letaknya satu kecamatan dengan tempat tinggal saya. Jaraknya sekira 5 km, tentu saya berjumpa lagi dengan orang-orang yang baru di sana. Walaupun ada yang sudah dikenal sebelumnya karena merupakan teman sekolah ataupun teman kuliah dahulu.
Setelah menjadi guru beberapa lama di MAN, pada bulan September 2012 saya diberi amanat untuk menjadi kepala madrasah pada salah satu madrsah ibtidaiyah swasta yang terletak di desa tetangga dengan jarak sekira 1,5 km dari tempat tinggal saya. Bertemu lagi saya dengan orang-orang baru meskipun ada yang sudah dikenal sebelumnya karena biasa bersama dalam kegiatan Kantor Kementerian Agama Kabupaten maupun kegiatan kemasyarakatan lainnya. Di sini saya hanya bertugas selama 1 tahun. karena pada bulan Oktober 2012 saya mengundurkan diri sebagai kepala madrasah. Sebab perngunduran diri ini karena pada saat itu sertifikasi saya sebagai guru mata pelajaran, sementara pada jenjang MI matematika diajarkan oleh guru kelas. Waktu itu kepala madrasah masih dibebani jam mengajar. Saya pindah keluar selanjutnya masuk kembali pada MAN di mana tempat tugas saya sebelumnya.
Di sini saya mengalami kesulitan dalam pemenuhan jam mengajar karena jatah jam mengajar untuk mata pelajaran saya sudah terdistribusi penuh pada rekan guru lain sementara saya ambil jam mengajar dari sisa atau kelebihan dari guru lain tersebut. Akibatnya saya harus mengambil jam mata pelajran lain yaitu Penjaskes dan mengambil jam mata pelajaran matematika pada sekolah lain yang sederajat.
Setelah menjalankan tugas di MAN selama beberapa waktu, bulan Oktoberr 2014 saya kembali mendapat amanat menjadi kepala MTs dimana dahulu saya pernah menjadi guru honor tetapi lokasi bangunannya telah dipindahkan meskipun masih dalam desa yang sama dari sebelumnya. SK mutasi saya tersebut dibuat oleh Biro Kepegawaian Kemenag RI oleh karena pejabat Kakanwil saat itu di wilyah saya sedang kosong.
Selanjutnya setelah menjalankan tugas hampir 5 tahun tepatnya awal bulan Agustus 2019 saya diamanatkan menjadi kepala MIN yang letaknya masih dalam kabupaten yang sama dengan jarak sekira 100 km dari tempat tinggal saya. Tentu saya harus bertemu dengan orang-orang baru lagi walaupun ada satu orang guru yang saya sudah kenal sebelumnya. Di sini kepala madrasah sudah tidak lagi dibebani dengan tugas mengajar sebagai bagian dari tugasnya. Meskipun demikian saya tetap tidak tenang karena harus jauh dari keluarga.
Di sinilah jabatan dan keluarga saya pertaruhkan. Saya dalam dilema yang begitu besar. Jabatan dan keluarga sama-sama berdiri atas dasar tugas dan tanggung jawab. Akhirnya demi ketenangan keluarga saya lepaskan tanggung jawab saya akan jabatan karena menurut saya tugas dalam jabatan dengan mudah dapat berganti tetapi tugas sebagai kepala keluarga tentu tak akan pernah tergantikan. Inilah jabatan yang tersingkat yang pernah saya lalui. Akhir bulan Oktober 2019. saya kembali menjadi guru pada MAN dimana dahulu saya pernah bertugas hingga sekarang. Bila dihitung-hitung saya sebanyak 2 kali pindah keluar dan sudah 3 kali pindah masuk pada madrasah ini.
Satu hal yang menjadi poin dari kisah perjalanan saya ini yaitu ketika seseorang dalam tekanan atau mendapat beban hingga dapat berpikir dan menemukan jalan keluarnya maka sesungguhnya dia telah membuat sebuah proses perubahan. Entah perubahan itu untuk dirinya ataupun untuk orang lain. Kalimat inilah yang sering saya ucapkan kepada anak-anak didik saya ketika mengajari mereka. Sungguh hanya dengan belajar matematika kalian mampu berproses menuju kearah sebuah perubahan. Namun jika dalam belajar matematika kalian tidak merasakan adanya tekanan atau beban, itu artinya kalian hanya meyaksikan gurumu sedang mengajar tanpa mengetahui apa yang sedang diajarkan. Semoga kisah ini ada manfaatnya.